Rabu, 15 April 2015

Sima’an al-Qur’an
Dalam bukunya, Mendidik Anak; Membaca, Menulis dan Mencintai al-Qur’an. Ahmad Syarifuddin menuliskan satu tema yang sangat indah. Keutamaan Tadarus dan Menyimak (semaan) al-Qur’an. Ia menuliskan, dengan mengutip dari Mulla Ali al-Qari  dalam Misyakatul-Mashabih. Tadarus adalah kegiatan qira’ah sebagian orang atas sebagian yang lain sambal membetulkan lafal-lafalnya dan mengungkap makna-maknanya.
Kegiatan tadarus awalnya berasal dari tradisi setoran bacaan Nabi dihadapan malaikat JIbril. Seperti diketahui, malaikat Jibril turun melakukan tes bacaan al-Qur’an Rasulullah.
Baik tadarus maupun semaan al-Qur’an memiliki ketentuan-ketentuan antara lain:
1.      Dilakukan dua orang atau lebih disuatu majelis, forum atau halaqah (forum duduk melingkar)
2.      Ada yang membaca da nada yang menyimak
3.      Ada upaya membetulkan bacaan, sering memberi dan menerima dan lainnya.
Antara tadarus dan simaan, keduanya memiliki kelebihan, yaitu pahala yang selalu dicurahkan oleh Allah kepada pembaca al-Qur’an, kepada yang menyimak atau yang mendengarkannya.
Rasulullah bersabda, ”Tidaklah suatu kaum berkumpul dalam salah satu rumah Allah (masjid) untuk membaca Kitabullah (al-Qur’an) dan mempelajarinya, melainkan ketenangan jiwa bagi mereka, mereka diliputi oleh rahmat, dikelilingi oleh para malaikat, dan Allah menyebut nama-nama mereka di hadapan para Malaikat yang ada di sisi-Nya.” (H.R Muslim).
Sebagaimana banyak terjadi di zaman modern ini, kegelisahan hidup bisa menimpa siapa saja baik tua, muda, kaya atau pun miskin, orang awam maupun pejabat. Dengan membaca Al-Qur’an akan memperoleh obat untuk mengatasi kegelisahan hidup, sebagaimana cerita pada zaman Rasulullah.
Pada suatu ketika datanglah seseorang kepada sahabat Rasulullah yang bernama Ibnu Mas’ud r.a. meminta nasehat, katanya: ” Wahai Ibnu Mas’ud, berilah nasehat yang dapat kujadikan obat bagi jiwaku yang sedang gelisah. Dalam beberapa hari ini, aku merasa tidak tenteram, jiwaku gelisah dan fikiranku kusut; makan tak enak, tidur tak nyenyak.”
Maka Ibnu Mas’ud menasehatinya, katanya:” Kalau penyakit itu yang menimpamu, maka bawalah hatimu mengunjungi tiga tempat, yaitu ketempat orang membaca Al Quran, engkau baca Al Quran atau engkau dengar baik-baik orang yang membacanya; atau engkau pergi ke pengajian yang mengingatkan hati kepada Allah; atau engkau cari waktu dan tempat yang sunyi, disana engkau berkhalwat menyembah Allah, umpama di waktu tengah malam buta, di saat orang sedang tidur nyenyak, engkau bangun mengerjakan shalat malam, meminta dan memohon kepada Allah ketenangan jiwa, ketentraman fikiran dan kemurnian hati. Seandainya jiwamu belum juga terobati dengan cara ini, engkau minta kepada Allah, agar diberi-Nya hati yang lain, sebab hati yang kamu pakai itu, bukan lagi hatimu.”

Setelah orang itu kembali kerumahnya, diamalkannyalah nasihat Ibnu Mas’ud r.a. itu. Dia pergi mengambil wudhu kemudian diambilnya Al Quran, terus dia baca dengan hati yang khusyu. Selesai membaca Al Quran, berubahlah kembali jiwanya, menjadi jiwa yang aman dan tenteram, fikirannya tenang, kegelisahannya hilang sama sekali.
Cinta yang Terukur dan Teruji
Berbagai model cinta; dewasa ini kian menjamur. Apalagi cinta monyet, cinta setengah hati, atau cinta bertepuk sebelah tangan. Semua cinta itu belum pasti dan sangat pahit dirasakan bagi si pelaku cinta itu sendiri.
Untuk merasakan hangatnya cinta; cinta yang murni dan sejati. Ambillah cinta itu. Misalnya; dengan menikahi si doi.
Cinta murni itu tumbuh dari hati, cinta murni itulah cinta yang suci. Cinta yang suci adalah cinta yang terukur dan teruji.  Seperti mencintai Allah, Rasul dan mencintai al-Qur’an.
Bagaimana mengukur cinta yang terukur dan teruji?
Pertama tentukan objek apa yang kita cintai. Misalnya al-Qur’an. Buktikan jika memang cinta al-Qur’an. Misalnya; setiap hari harus membaca al-Qur’an. Komitmen anda; membaca al-Qur’an adalah setiap hari. Berapa ayat, berapa halaman, atau berapa juz? Terserah pokoknya setiap hari membaca al-Qur’an. Ukurannya setiap hari membaca al-Qur’an. Mampu membacanya bahkan menghafalnya. Itulah terukur.
Kedua uji kualitas cinta kita. Mampu atau tidak. Jika mampu, maka secara istiqamah, terus menerus, bahkan sudah menjadi kebiasaan, hingga tumbuh perasaan tanpanya seperti kehilangan, ini berarti cinta kita sudah tumbuh kuat dan teruji.   Terujinya kita akan mendapatkan ujian dalam diri; seperti rasa malas, kesusahan membaca, dan lainnya. Mampukah dengan ujian tersebut kita keluar dari masalah? Jika mampu kita sudah teruji.
Ketiga yakinkan diri. Bahwa apa yang kita lakukan hanya untuk dan karena Allah semata. Atas perintah dan petunjuk-Nya. Hanya untuk dan karena ibadah semata. Semata-mata karena niat tulus ingin taat, cinta atas perintah-perintah-Nya. Insyallah menjadi orang yang bertaqwa.
Menumbuhkan cinta yang terukur dan teruji, dapat dilakukan dalam berbagai hal. Tidak hanya dalam mencintai al-Qur’an melainkan dalam semua bidang. Dalam pekerjaaan, karier ataupun jabatan. Dibutuhkan kecintaan yang terukur dan teruji, agar kita mendapatkan hasil dan prestasi yang baik dan berkah. Amiin.

Allah menerangkan dalam al-Qur’an bahwa setiap usaha akan mendapatkan hasilnya, sesuai apa yang dilakukan dan keahlian kita.     Katakanlah, "Setiap orang berbuat sesuai dengan pembawaannya masing-masing."    Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya. (QS. Al Isra' ayat 84)